This site uses cookies from Google to deliver its services, to personalize ads and to analyze traffic. Information about your use of this site is shared with Google. By using this site, you agree to its use of cookies. Learn More

Penjelasan Tentang Jual-Beli dengan Kredit

2ndgirls.blogspot.com - Dalam hal ini, hukum dan aturan jual beli dlm Islam menjadi hal yg sangat diprioritaskan. Hal tersebut dikarenakan jika akad jual belinya tak sesuai dgn tata aturan yg ditetapkan oleh syariat, maka dpt dipastikan akad jual beli yg berlangsung tak bisa dianggap sah. Jika demikian keadaannya, maka akan terjadi kezaliman terhadap pihak lain yg saling malakukan transaksi, padahal Islam senantiasa mengatur umatnya agar hidup berdampingan, dan tak saling merugikan. Oleh karena itu, dlm pelaksanaan jual beli Islam telah menetapkan tata aturan yg secaa detail disebutkan dlm ilmu fikih muamalah. Adapun dasar hukum yg menjelaskan tentang jual beli dpt dilihat dlm penjelasan ayat-ayat al-Qur’an sebagai berikut:
Al-Qur’an Surah al-Baqarah ayat 275:
وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Ayat di atas merupakan dalil naqlimengenai diperbolehkannya akad jual beli. Atas dasar ayat inilah, maka manusia dihalalkan oleh Allah melakukan praktik jual beli dan diharamkan melakukan praktik riba.
Al-Qur’an Surah al-Baqarah ayat 282:
...وَأَشْهِدُوْا إِذَا تَبَايَعْتُمْ...
... dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli.
Berbeda dgn ayat yg pertama, ayat ni yaitu menjelaskan secara teknis dlm jual beli, bagaimana seharusnya praktik jual beli yg benar yg benar tersebutdijalankan. Berkaitan dgn ayat di atas, telah sama-sama kita ketahui bahwa akad jual beli merupakan suatu bentuk transaksi yg dilakukan antara dua orang / lebih untk saling memenuhi kebutuhan keseharian mereka. Akan tetapi terkadang terjadi hal-hal yg tak diinginkan, sehingga dlm proses jual beli tersebut ada baiknya manakala didatangkan saksi / alat bukti lain yg menunjukkan transaksi tersebut. Hal tersebut dimaksudkan untk memberikan kesaksian / bukti bahwa kedua belah pihak tersebut betul-betul telah melakukan akad jual beli. Oleh karena itu, Al-qur’an mengajarkan agar dlm praktik jual beli hendaknya ada saksi yg menyatakan keabsahan transaksi jual beli antara kedua belah pihak.
Al-Qur’an Surah an-Nisa’ ayat 29:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ

Hai orang-orang yg beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dgn jalan yg bathil, kecuali dgn jalan perniagaan yg berlaku suka-sama suka di antara kamu.
Ayat ni melarang manusia untk melakukan perbuatan tercela dlm mendapatkan harta. Allah melarang manusia untk tak melakukan penipuan, kebohongan, perampasan, pencurian / perbuatan lain secara batil untk mendapatkan harta benda. Tetapi diperbolehkan mencari harta dgn cara jual beli yg baik yaitu didasari atas suka sama suka.
Al-Qur’an Surah al-Baqarah ayat 198:

لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَبْتَغُواْ فَضْلاً مِّن رَّبِّكُمْ
Tidak ada bagimu untk mencari karunia (rizki hasil perniagaan) dari Tuhamu.
Penjelasan yg dpt dipetik dari ayat tersebut adlh bahwa, perniagaan adlh jalan yg paling baik dlm mendapatkan harta, di antara jalan yg lain. Asalkan jual beli dilakukan dgn syarat dan ketentuan yg telah diatur oleh syariat.
Berkaitan dgn jual beli, rasulullah SAW pernah ditanya oleh salah satu sahabatnya mengenai pekerjaan yg baik, maka jawaban beliau ketika itu adlh jual beli. Peristiwa ni sebagaimana dijelaskan dlm hadis:
عَنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ الْكَسْبِ أَفْضَلُ ؟ قَالَ: عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُوْرٍ
Dari Rifa’ah bin Rafi’ ra. Ia berkata, bahwasannya Rasulullah SAW pernah ditanya: Usaha apakah yg paling halal itu (ya Rasulullah ) ? Maka beliau menjawab, Yaitu pekerjaan seseorang dgn tangannya sendiri dan tiap jual beli itu baik. (HR. Imam Bazzar. Imam Hakim menyatakan shahihnya hadits ini)
Di zaman yg serba canggih ni perkembangan sistem ekonomi sudah sangat pesat. Beragam sistem ditawarkan oleh para niagawan untk bersaing menggaet hati para pelanggan. Seorang niagawan muslim yg tak hanya berorientasi pd keuntungan dunia sudah semestinya cerdik dan senantiasa menganalisa fenomena yg ada agar mengetahui bagaimanapandangan syariat terhadap transaksi ini. Dengan demikian tak mudah terjerumus ke dlm larangan-Nya.
Di antara sistem yg saat ni terus dikembangkan adlh sistem kredit, yaitu cara menjual barang dgn pembayaran secara tak tunai (pembayaran ditangguhkan / diangsur).
Di dlm ilmu fikih, akad jual beli ni lebih familiar dgn istilah jual belitaqsith (التَقْسيـْط). Secara bahasa, taqsith itu sendiri berarti membagi / menjadikan sesuatu beberapa bagian.
Meskipun sistem ni adlh sistem klasik, tapi terbukti hingga kini masih menjadi trik yg sangat jitu untk menjaring pasar, bahkan sistem ni terus-menerus dikembangkan dgn berbagai modifikasi.
Hukum Jual-Beli dgn Sistem Kredit
Secara umum, jual beli dgn sistem kredit diperbolehkan oleh syariat. Hal ni berdasarkan pd beberapa dalil, di antaranya adalah:
1. Firman Allah Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
Hai orang-orang yg beriman, apabila kamu bermuamalah tak secara tunai untk waktu yg ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. (QS. Al Baqarah : 282)
Ayat di atas adlh dalil bolehnya akad hutang-piutang, sedangkan akad kredit merupakan salah satu bentuk hutang, sehingga keumuman ayat di atas bisa menjadi dasar bolehnya akad kredit.
2. Hadis ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
beliau mengatakan,
اشْتَرَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا بِنَسِيئَةٍ، وَرَهَنَهُ دِرْعَهُ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membeli sebagian bahan makanan dari seorang yahudi dgn pembayaran dihutang dan beliau jg menggadaikan perisai kepadanya. (HR. Bukhari:2096 dan Muslim: 1603)
Dalam hadis ni Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membeli bahan makanan dgn sistem pembayaran dihutang, itulah hakikat kredit.
Berikut adlh sedikit ringkasan pembahasan mengenai jual beli secara kredit / yg dikenal dgn Al-Bai’ut-Taqsiith -(البيع التقسيط). Definisi jual beli kredit secara terminologis adlh menjual sesuatu dgn pembayaran tertunda, dgn cara memberikan cicilan dlm jumlah-jumlah tertentu dlm beberapa waktu secara tertentu, lebih mahal daripada harga kontan. Atau dgn definisi lain : Pembayaran secara tertunda dan dlm bentuk cicilan dlm waktu-waktu yg ditentukan. Jual beli apapun pd asalnya adlh boleh kecuali ada dalil yg mengharamkannya. Allah ta’ala telah berfirman :
يَا أَيّهَا الّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُوَاْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مّنْكُمْ
Hai orang-orang yg beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dgn jalan yg batil, kecuali dgn jalan perniagaan yg berlaku dgn suka sama-suka di antara kamu. [QS. An-Nisaa’ : 29].
ذَلِكَ بِأَنّهُمْ قَالُوَاْ إِنّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرّبَا وَأَحَلّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرّمَ الرّبَا
Keadaan mereka yg demikian itu, adlh disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dgn riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. [QS. Al-Baqarah : 275]. Dua ayat di atas berlaku umum untk semua jenis jual beli, termasuk jual beli secara kredit. Sampai ayat ini, para ulama mu’tabar tak berbeda pendapat mengenai jual beli kredit. Hal itu dikarenakan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam sendiri pernah melakukan jual beli dgn menunda waktu pembayaran sebagaimana terdapat dlm hadits :
عن عائشة رضى الله تعالى عنها أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى طَعَاماً مِنْ يَهُودِيٍّ إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعاً مِنْ حَدِيدٍ
Dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dgn pembayaran tertunda dan menggadaikan baju besinya sebagai boroh / gadai [HR. Bukhari no. 2068, 2096, 2200, 2251, 2252, 2386, 2509, 2513, 2916, 4467; Muslim no. 1603; An-Nasa’i no. 4609, 4650; Ibnu Majah no. 2436; dan Ahmad no. 23626, 24746, 25403, 25467].
Kemudian, para ulama berselisih pendapat mengenai hukum jual beli dgn penundaan waktu pembayaran plus penambahan harga. Ringkasnya, hal itu terbagi menjadi 2 (dua) kelompok besar pendapat : 1. Mengharamkannya 2. Membolehkannya
Pendapat pertama merupakan pendapat sebagian ulama, dan pendapat kedua merupakan pendapat jumhur ulama.
Makna Dua Jual Beli dlm Satu Jual Beli (بيعتان في بيعة)
عن أبي هريرة قَالَ : نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ’anhu ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam melarang dua jual beli dlm satu jual beli (baca : dua jual beli dlm satu akad/transaksi - Abul-Jauzaa’) [HR. Tirmidzi no. 1231, Ahmad no. 9582, 10153; An-Nasa’i no. 4632; Ad-Daarimi no. 1379; Ibnul-Jarud no. 600; Abu Ya’la no. 6124; Ibnu Hibban no. 4973; Al-Baihaqi 5/343; dan Al-Baghawiy no. 21111 - shahih).
قال ابن مسعود : " صفقتان في صفقة ربا "
Ibnu Mas’ud berkata : Transaksi dlm dua penjualan adlh riba [HR. Ibnu Abi Syaibah dlm Al-Mushannaf 8/192/2; Ahmad no. 3783, dan Ibnu Hibban no. 1053 - shahih. Lihat Irwaaul-Ghalil 5/148-149].
1. Pendapat yg mengharamkannya memaknai hal itu sebagaimana perkataan : Aku jual barang ni kepadamu, secara kontan 10 ribu rupiah dan jika secara angsuran (kredit) 12 ribu rupiah. Dan inilah kredit pd umumnya sebagaimana yg lazim di jaman sekarang.
2. Pendapat yg membolehkannya memaknai hal itu dgn dua inti perkataan, yaitu :
a. Aku jual kepadamu baju ni secara kontan seharga 50 ribu rupiah, dan secara kredit 55 ribu rupiah; tapi ketika berpisah ia tak bersepakat dlm satu harga, apakah akan mengambil yg kontan / secara kredit. Jadi antara penjual dan pembeli bersepakat dlm transaksi tanpa menentukan penjualan mana yg akan diambil (kontan / kredit).
b. Aku jual sepeda ni padamu seharga 100 ribu dgn syarat kamu menjual kambingmu. Atau sebaliknya : Aku jual sepeda ni padamu dgn syarat kamu menjual kambingmu seharha 200 ribu. Ketika pembeli menyepakati, maka otomatis berlangsung dua akad jual beli dlm satu jual beli. Transaksi ni sangat rentan terhadap kedhaliman pd harta.
Maka, di sini jumhur ulama mengatakan bahwa jual-beli secara kredit sebagaimana lazimnya tak termasuk dlm larangan di atas (kecuali jika sampai berpisah penjual dan pembeli bersepakat tapi tak menentukan jenis pembayaran yg akan dilakukan - sebagaimana telah dijelaskan). Inti perkataan tersebut saya modifikasi dari contoh yg dikemukakan Al-Imam At-Tirmidzi dlm Sunan-nya (no. 1231).
Tepatnya penjelasan At-Tirmidzi tersebut adlh sebagai berikut :
وقد فسر بعض أهل العلم قالوا بيعتين في بيعة أن يقول أبيعك هذا الثوب بنقد بعشرة وبنسيئة بعشرين ولا يفارقه على أحد البيعين فإذا فارقه على أحدهما فلا بأس إذا كانت العقدة على أحد منهما قال الشافعي ومن معنى نهى النبي صلى الله عليه وسلم عن بيعتين في بيعة أن يقول أبيعك داري هذه بكذا على أن تبيعني غلامك بكذا فإذا وجب لي غلامك وجب لك داري وهذا يفارق عن بيع بغير ثمن معلوم ولا يدري كل واحد منهما على ما وقعت عليه صفقته
Sebagian ahli ilmu menafsirkannya, mereka berkata : Aku menjual baju ni dgn kontan senilai sepuluh dan dgn berangsur senilai dua puluh dan ia tak berpisah (yaitu tak bersepakat) dengannya pd salah satu harga. Kalau ia berpisah dengannya di atas salah satunya, maka itu tak apa-apa apabila akad berada di atas salah satu dari keduanya. Berkata Imam Asy-Syafi’i : Dan dari makna larangan Nabi ‎shallallaahu ‘alaihi wasallam dari dua penjualan dlm satu transaksi, seseorang berkata : ‘Aku menjual rumahku kepadamu dgn syarat kamu menjual budakmu kepadaku dgn harga sekian. Kalau budakmu telah wajib untukku maka aku wajibkan rumahku untukmu’ dan ni berpisah (yaitu bersepakat) dgn penjualan tanpa harga yg pasti dan tiap dari keduanya tak mengetahui bagaimana bentuk transaksinya. Penjelasan serupa jg disampaikan oleh Al-Khaththabi dlm Ma’aalimus-Sunan.
Mana Yang Lebih Kuat ?
InsyaAllah yg lebih kuat adlh Pendapat Kedua (yang membolehkannya). Sebagaimana yg telah disinggung, jual beli kredit yg berlangsung seperti sekarang bukanlah dua jual beli dlm satu transaksi. Sebab, ketika berpisah, mereka umumnya telah menyepakati jenis pembayaran yg akan dilakukan (yaitu bersepakat dgn akad kredit). Maka pd akhirnya di sini hanya ada satu jual beli saja dlm satu transaksi. Adapun contoh perkataan dari pendapat kedua (yang membolehkan kredit), maka sangat jelas bahwa akhir transaksi terdapat dua jual beli dlm satu transaksi dari pihak penjual maupun pembeli yg penuh gharar(ketidakjelasan) dan manipulasi.
Bagaimana dgn Pernyataan : Tafsiran Perawi Lebih Didahulukan daripada Selainnya ?
Hujjah di atas adlh hujjah yg dipakai oleh para ulama yg mengharamkan kredit dgn tambahan harga, sebab terdapat perkataan perawi hadits larangan dua jual beli dlm satu transaksi. Simmak bin Harb - perawi hadits - telah membawakan tafsiran tentang larangan dua jual beli dlm satu transaksi dgn perkataan : [إن كان بنقد فبكذا و كذا , و إن كان إلى أجل فبكذا و كذا] Apabila dibayar secara kontan maka sekian, dan apabila secara kredit sekian. Selain dari apa yg telah dijawab di atas, maka hal itu dpt dijawab sebagai berikut :
1- Tafsiran seorang perawi tidaklah mutlak didahulukan, sebab belum tentu yg membawakan hadits itu lebih paham daripada yg disampaikan. Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda :
نَضَّرَ اللهُ امْرَأً سَمِعَ مَقَالَتِي فَوعَاهَا وَحَفِظَهَا وَبَلَّغَهَا، فَرُبَّ حَامِلِ فَقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أفقَهُ مِنْهُ
Semoga Allah memberikan cahaya kepada wajah orang yg mendengar perkataanku, kemudian ia memahaminya, menghafalkannya, dan menyampaikannya.Betapa banyak orang yg membawa fiqh kepada orang yg lebih paham daripadanya [HR. Tirmidzi no. 2658; shahih].
Hadits di atas menjelaskan bahwa kedudukan pembawa hadits (rawi) tak mutlak selalu lebih unggul dlm pemahaman dibandingkan orang yg disampaikan.
2- Madzhab jumhur ulama ushul-fiqh adlh tak bertaqlid kepada pendapat shahabat. Kalau seorang shahabat memberi kekhususan pd sebuah nash umum / menafsirkan nash yg masih global pengertiannya dgn salah satu kemungkinan penafsirannya tanpa penjelasan sebab adanya pengkhususan dan penafsiran tersebut, maka pendapatnya tak bisa dijadikan hujjah dlm mengkhususkan nash umum tersebut / dlm penafsiran nash yg masih penuh kemungkinan tersebut. Apabila demikian halnya yg berlaku pd shahabat dgn segala kemuliaan dan keutamaannya, tentu bagi seorang tabi’in / orang sesudah mereka lebih jelas lagi. Dan sebagai catatan, Simmak bin Harb ni adlh seorang tabi’i, bukan seorang shahabat.
Perkataan seorang perawi dpt didahulukan jika memang terdapat qarinah yg jelas bahwa perkataannya tersebut merupakan penjelasan yg bersumber pd ujung sanad (dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam / shahabat untk kasus hadits mauquf). Contohnya adlh tentang masalah berdzikir dgn tangan kanan :
حدثنا عبيد الله بن عمر بن ميسرة ومحمد بن قدامة في آخرين قالوا ثنا عثام عن الأعمش عن عطاء بن السائب عن أبيه عن عبد الله بن عمرو قال رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يعقد التسبيح قال بن قدامة بيمينه
Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidillah bin ‘Umar bin Maisarah dan Muhammad bin Qudamah dan yg lainnya mereka berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Atsaam dari Al-‘Amasy dari ‘Atha’ bin Saib dari ayahnya dari Abdillah bin ‘Amru ia berkata : Aku melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menghitung bacaan tasbihnya. Berkata Muhammad bin Qudamah (perawi hadits) :Yaitu dgn tangan kanannya [HR. Abu Dawud no. 1502].
Perkataan perawi (Muhammad bin Qudamah) :Yaitu dgn tangan kanannya tidaklah mungkin hanyalah penafsirannya semata. Penjelasan itu didapatkan dari penjelasan rawi di atasnya sampai di ujung sanad yg merupakan penjelasan dari orang yg melihatfi’il Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam(yaitu Abdullah bin ‘Amru radliyallaahu ‘anhuma). Hadits tersebut dibawakan oleh Abdullah bin ‘Amr dgn apa yg dilihat, bukan sekedar interpretasi semata. Sehingga, dari apa yg dilihat tersebut dikatakan/dijelaskan kepada perawi selanjutnya (murid-muridnya).
Bagaimana Penjelasan Hadits Abu Hurairah ?
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :
من باع بيعتين في بيعة فله أوكسهما أو الربا
Barangsiapa yg menjual dgn dua penjualan dlm satu transaksi, maka baginya harga yg terendah / riba [HR. Abu Dawud no. 3461, Ibnu Hibban no. 4974, Al-Haakim no. 2292, dan Al-Baihaqi 3/343;]
Adapun pengertiannya adlh bahwa hadits Abu Hurairah (yang terdapat keharusan memilih harga terendah) merupakan jual-beli‘ienah yg memang termasuk riba. Ibnul-Qayyim dlm Tahdzibus-Sunan (9/240) mengatakan : Makna kalimat dlm hadits terdahulu : ‘...barangsiapa yg melakukan dua jual beli dlm satu jual beli, hendaknya ia mengambil yg termurah, bila tak ia memakan riba’ ; yaitu seperti jual beli ‘ienah. Demikian yg dijelaskan oleh Syaikh Al-Khaththabi. Karena itu artinya dua jual beli dlm satu jual beli. Yang termurah adlh harga kontan. Apabila yg diambil adlh yg lebih mahal, yaitu pembayaran berjangka, maka ia telah mengambil harta riba. Kemungkinan yg terjadi hanya salah satu dari dua : mengambil harga termurah / memakan riba. Itu hanya terjadi pd jual beli ‘ienah
Jual beli ‘ienah gambarannya adlh sebagai berikut :
Si (A) menjual mobil kepada si (B) dgn pembayaran tempo (5 tahun) seharga 50 juta. Mobil diterima si (B). Kemudian si (A) mensyaratkan untk membeli kembali mobil tersebut seharga 40 juta secara kontan dari si (B). Maka di sini terdapat unsur manipulasi dan riba. Si (A) sebenarnya tak berkeinginan untk menjual mobil kepada si (B), melainkan ia hanya ingin menggandakan uangnya yg 40 juta itu menjadi 50 juta (ada tambahan 10 juta) dlm tempo 5 tahun. Ini riba. Sedangkan si (B) tujuannya tidaklah ingin membeli mobil si (A), melainkan hanya menginginkan uang kontan 40 juta dgn konsekuensi ia harus mengembalikan sebesar 50 juta di tahun kelima. Jadi sebenarnya ni hanya manipulasi riba yg dibungkus atas label jual-beli.
Dalam jual beli ni terdapat dua jual beli dlm satu jual beli. Jika penjual dan pembeli memilih harga terendah (yaitu 40 juta kontan), maka jual beli itu adlh mubah dan terbebas dari riba. Tapi jika yg disepakati seperti di atas, maka itulah larangan dlm hadits Abu Hurairah. Wallaahu a’lam.
Kesimpulan :
1- Jual beli kredit pd asalnya adlh boleh.
2- Walaupun boleh, tapi sudah selayaknya kita menghindarinya untk menghindari perselisihan yg ada. Harus diakui bahwa hujjah ulama yg mengharamkannya pun terbilang cukup kuat. Apalagi hal itu didukung oleh para ulama-ulama Ahlus-Sunnah yg terkenal seperti Ibnu Sirin, Simak bin Harb, Ats-Tsauri, Ibnu Qutaibah, An-Nasa’i, Ibnu Hibban, dan yg lainnya.
3- Selayaknya bagi kita untk menghindari kredit (jangan menggampangkannya), karena pd hakekatnya kredit itu adlh hutang. Jika kita mati dan tunggakan kredit itu masih ada, maka statusnya adlh seperti hutang dimana kita tetap tertahan sampai kredit kita tersebut terselesaikan.
4- Bersikap zuhud dan wara’ adlh utama.Beli kalau ada uang, dan tak membeli kalau memang tak ada uang.
Semoga ada manfaatnya.
Wallohul Muwaffiq Ila Aqwamith Thoriq

other source : http://solopos.com, http://wiyonggoputih.blogspot.com, http://bbc.co.uk

0 Response to "Penjelasan Tentang Jual-Beli dengan Kredit"

Post a Comment

Contact

Name

Email *

Message *