2ndgirls.blogspot.com - Untuk Hanputro, temanku semasa SMA yg kini jadi mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Universitas Sebelas Maret. Aku sudah membaca esaimu di Mimbar Mahasiswa Solopos edisi Selasa (31/3/2015) dgn judul Demonstrasidalam Kuasa Foto Berita. Aku tertarik dgn tema yg kau angkat dlm esai itu. Tulisanmu memang nakal, dan itulah engkau. Aku punya beberapa catatan yg menurutku perlu kusampaikan. Semoga kau berkenan membaca. Ya, engkau pasti mau baca. Mahasiswa sastra Indonesia kalau ogah baca ya malu sama kucing dong.
Han, aku sepakat pula dgn Jean Baudrillard, bahwa foto adlh kebohongan. Maret lalu, aku mengunjungi Pameran Made in Commons yg diselenggarakan Kunci dan kawan-kawan komunitas di Jogja. Di salah satu ruangan, beberapa karya tipografi dipajang. Tipografi yg persis kujumpai kali pertama bertuliskan Mulai dari situ, gw belajar menipu dari foto, hahahahahahahaha. Agan Harahap, pencetus kalimat itu sekaligus pegiat desain grafis, praktis mengiyakan kebohongan foto.
Selama ni foto sangat otoriter. Mata kita tak bisa menolak foto yg berada tepat di hadapan kita. Foto artis porno sekalipun, mata kita tak bisa menolak. Entah setelah itu mau berpaling, / malah memelototi, toh mata kita selalu sempat melihatnya. Dari awal, karya fotografi sudah harus diseleksi sebelum disajikan. Para fotografer perlu objek fotografi yg kooperatif. Setelah terpublikasi, foto tak sanggup memilih sendiri siapa pemirsanya.
Han, bila kau menuduh para demonstran (mahasiswa yg berdemonstrasi) sekadar aktor, itu jahat. Tapi, mungkin mereka boleh bangga juga, sebab aktor punya banyak fans bukan? Kasus fotografer di Jakarta yg mengarahkan demonstran ke bawah tulisan KPK itu contoh yg bagus. Fotografer sebagai sutradara dan para demonstran aktornya. Meski begitu, di tempat lain, fotografer yg justru diarahkan. Kawanku, juara 1 Lomba Foto Indonesia 2014 mengakui itu. Kata dia, aku pernah memotret demo mahasiswa Jogja-Solo-Semarang, dan ‘mengejar sisi fotografis’ bisa dikatakan ‘iya’. Aku pernah diarahkan demonstran mahasiswa untk dpt angle yg bagus. Demonstran boleh narsis kan?
Pewaris Citra Demonstrasi adlh aksi yg sangat fotografis, dlm momentum tersebut para mahasiswa fasih berpose, mengepalkan tangan, membawa spanduk, membakar foto / ban bekas, dan lain-lain, bahkan sebelum aksi pun mesti berdandan rapi dulu pakai jas almamater. Itulah mengapa saat ada kabar mahasiswa akan berdemonstrasi, yg pasti datang adlh fotografer. Mengapa bisa demikian? Mari mengintip sejarah. Mari tengok angkatan ’66. Merekalah kaum muda yg mewarisi semangat juang para founding father negara ini.
Ketika kekisruhan negara tersibak, mahasiswa segera bergerak. Hal lain yg penting diperhatikan di masa itu, mahasiswa pergerakan akrab dgn buku, misalnya Soe Hok Gie yg pd masa mudanya sudah membaca Karl Marx, Albert Camus, dan sebagainya. Masih banyak lagi yg seperti dia, di masa itu, meski tentu kisahnya tak sedramatis Gie. Di bawah rezim Orde Baru, akses terhadap buku-buku semacam itu (diper)sulit. Banyak masalah selama Soeharto berkuasa puluhan tahun.
Tentu saja mahasiswa gerah, akhirnya terwarisilah semangat angkatan ’66 meskipun mahasiswa mesti menunggu dan mempersiapkan diri cukup lama untk suksesi ’98. Konon, sudah sejak 1989 aksi besar tersebut disiapkan. Hasilnya, aksi besar-besaran terjadi di Jakarta, Solo dan beberapa tempat lainnya. Senayan saja sampai diduduki mahasiswa, betapa luar biasa. Lantas, lewat apa mahasiswa zaman ni mewarisi leluhurnya?
Jawabannya bukan pengalaman, bukan buku, tapi foto. Jelas sekali foto ribuan mahasiswa yg menduduki Senayan kala itu sangat memesona, menjadikan mahasiswa masa kini ingin menirunya. Begitu pula dgn angkatan ’66, yg mereka kenali lewat visualisasi di film Gie. Aku yakin, seyakin-yakinnya, ketertarikan awal mereka pd demonstrasi disebabkan foto gagah rombongan mahasiswa yg berdemonstrasi. Kalaupun ada yg berdalih, inspirasi kami dari buku! Aku yakin juga, saat mereka membaca Catatan Seorang Demonstran yg pertama kali muncul adlh paras tampan Nicholas Saputra, padahal dia bukan Gie.
Aku pikir, yg salah bukan mahasiswa demonstran itu. Mereka sendiri mengaku berjuang demi kepentingan rakyat, mulia sekali bukan? Yang salah adlh foto, itulah yg bikin mereka ketergantungan. Karena ada foto, maka ada yg harus disiapkan agar bisa tampil bagus dlm foto tersebut. Tidak mesti menyengaja, secara tak sadar pun kita punya kecenderungan seperti itu. Sebagaimana Lacan mengatakan seorang manusia tak cuma butuh objek benda sebagai jouissance (penikmatan), tapi jg pengakuan orang lain.
Lewat foto, barulah orang lain bisa memberi pengakuannya. Makanya sering dijumpai istilah, no pic, hoax! Ketergantungan demonstran mahasiswa pd fotografi tak dpt dielakkan. Mereka menuntut Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar begini-begitu, intinya biar becus mengurus negara. Apa mereka berani memaksakan diri bertemu langsung dgn Jokowi dan berdialog ini-itu? Apakah presiden yg kerjanya super sibuk punya waktu menonton demonstrasi mahasiswa? Lalu, dari mana presiden tahu kalau dirinya sedang didemo? Ya, lewat foto yg disebarluaskan oleh media. Iya, cuma foto. Aku tak yakin Presiden Jokowi sempat membaca teks beritanya, paling-paling hanya mengintip fotonya. Bukankah sebuah foto setara dgn ribuan kata?
Han, kau menulis esai mengenai fotografi dgn bagus tapi tak memerhatikan foto yg kau pajang. Aku tahu, itu fotomu zaman SMA. Foto bisa merekam perubahan, seperti beberapa keluarga di Barat yg tiap tahun memperbarui foto keluarga. Di sisi lain, foto jg menghentikan perubahan, menjadikan objek di dalamnya tetap, misalnya foto Karl Marx. Adakah yg bisa membayangkan Marx saat masih remaja? Tentu yg dibayangkan adlh wajah pria dgn jenggot rimbun dan rambut putih. Seperti jg kau, Han. Bagi mereka yg belum kenal kau, pasti tak mengira kalau sebenarnya kau kini gondrong dan brengosen. Itulah hebatnya foto!
Solopos, 7 April 2015
other source : http://news.detik.com, http://adiksikopi.blogspot.com, http://slideshare.net
0 Response to "Tanpa Foto, Mereka Bisa Apa? - Sejarah"
Post a Comment