This site uses cookies from Google to deliver its services, to personalize ads and to analyze traffic. Information about your use of this site is shared with Google. By using this site, you agree to its use of cookies. Learn More

[Lowongan Dosen dan Pegawai] Wayang di mata Masyarakat Jawa

2ndgirls.blogspot.com - Karakteristik yg menonjol dari budaya Jawa adlh keraton sentris yg masih lengket dgn tradisi animisme-dinamisme. Di samping itu, ciri menonjol lain dari budaya Jawa adlh penuh dgn simbol-simbol / lambang sebagai bentuk ungkapan dari ide yg abstrak sehingga menjadi konkrit. Oleh karena yg ada hanya bahasa simbolik, maka segala sesuatunya tak jelas karena pemaknaan simbol-simbol tersebut bersifat interpretatif. Di samping itu, tampilan keagamaan yg tampak di permukaan adlh pemahaman keagamaan yg bercorak mistik.

Wayang di mata Masyarakat Jawa
Wayang di mata Masyarakat Jawa
Anderson -seorang sarjana barat- pernah mengutarakan pendapatnya mengenai wayang. Ia berpendapat bahwasanya wayang menempati posisinya sebagai unsur penting dlm masyarakat Jawa. Ia mengakui bahwa wayang merupakan ‘compelling religius mythology’, yakni yg menyatukan masyarakat jawa secara menyeluruh, baik secara horizontal maupun vertikal. Pengakuannya ni dipertegas oleh Claire Holt yg jg merupakan seorang sarjana barat. Menurutnya wayang melambangkan masyarakat jawa yg merupakan ‘suatu dunia stabil berdasarkan konflik (a stable world based on conflict).

Bambang Murtiyoso seorang pengamat wayang dari STSI Solo mengatakan bahwa seorang pakar sinematografi pernah berkata,Karya animasi pertama di dunia sebenarnya diadopsi dari bentuk Wayang Kulit Purwa.Ia merupakan simbol klasik kehidupan masyarakat Jawa yg kurang begitu dpt ditangkap oleh generasi bangsa. Sedangkan Ward Keeler mengaitkan aspek-aspek pentas wayang purwa dgn konsepsi jati diri manusia Jawa. Cukup sering pula aspek-aspek tersebut direfleksikan ke dlm kehidupan sosial dan kedudukan relatif sosial. Pentas wayang adlh refleksi simbolis hubungan-hubungan sosial horisontal dan vertikal.

Baik Murtiyoso maupun Ward Keeler sama-sama hendak menyampaikan bahwa pentas wayang (dalam konteks hubungan horisontal) menyiratkan tata nilai yg menunjukkan upaya-upaya untk mencapai keserasian hidup. Keadaan ideal yg wajib dipertahankan itu berupa keseimbangan tata tertib sosial yg digambarkan sebagai suatu masyarakat yg tentram, makmur, aman, dan adil. Meski demikian, dlm pentas pewayangan yg menghadirkan epos Bharatayuda Jayabinangun terdapat karakterisasi dan simbolisasi yg saling berlawanan yaitu Pandawa (sebagai simbol protagonis, al-Haq / kebaikan), dan Kurawa (sebagai simbol antagonis, al-Bhatil / kejahatan). Adanya epos utama ni menunjukkan keadaan hidup manusia sebenarnya yg selalu diwarnai oleh kebaikan dan kejahatan.

Sejarah pernah memposisikan wayang sebagai sebuah kesenian yg selain berfungsi sebagai media hiburan jg berfungsi sebagai media ‘mengenal tuhan’. Dalam artian, seluruh komponen yg terdapat dlm kesenian wayang (termasuk jg di dalamnya adlh dhalang) pernah memberikan kontribusi yg cukup besar bagi terselenggaranya proses keberagamaan pd masyarakat Jawa kuno. Dhalang khususnya, diyakini sebagai orang suci, yg menjadi perantara untk mengenal (mendekat) kepada Sang Hyang Tunggal (nama tuhan pd zaman jawa kuno). Tanpa dhalang dan wayang, orang Jawa merasakan adanya jarak yg sangat jauh dgn sang pencipta. padahal masyarakat Jawa adlh tipe masyarakat religius. Mereka telah jauh-jauh hari mempercayai adanya kekuatan adikodrati. Menyembah Tuhan bagi mereka adlh kewajiban yg tak boleh tak harus dilakukan sepanjang hayat.

Sejak lama masyarakat Jawa telah percaya terhadap adanya roh yg bersemayam pd hewan, tumbuhan, dan benda-benda alam seperti batu dan sebagainya. Inilah agama/kepercayaan pertama masyarakat Jawa. Ketika agama Hindu dan Budha datang, situasi dan pola keberagamaan masyarakat Jawapun terjadi perubahan walau tak begitu signifikan. Mereka tetap mempercayai adanya kekuatan gaib yg bersemayam pd benda-benda tertentu. Tapi begitu mereka kemudian jg mempercayai adanya kekuatan gaib / roh yg berwatak baik dan jahat. Maka untk meredam kemarahan roh jahat tersebut, tindakan keberagamaan yg kemudian diamalkan oleh masyarakat Jawa kuno adlh memberi sesaji/sesajen kepada roh yg mbahureksa, yg berdiam/mendiami tempat / benda-benda tertentu.

Agaknya kepercayaan baru mereka ni dipengaruhi oleh adanya ajaran Hindu yg memang berkembang pesat kala itu. Di mana di dalamnya seringkali diajarkan epos Mahabarata dan Ramayana yg memuat ajaran-ajaran penting serta wujud perang tanding (konflik) antara dua kutub yg saling bertentangan, yaitu antara kebaikan dan kejahatan, antara kekacauan dan ketertiban, antara khaos dan ordo, antara perilaku baik dan perilaku buruk, antara kanan (mewakili simbol kebaikan) dan kiri (mewakili simbol keburukan). Ajaran-ajaran tentang kebaikan dan keburukan inilah yg kemudian mempengaruhi pola pikir dan tindakan keberagamaan dlm masyarakat Jawa kuno.

Menurut Prof. Dr. Simuh, Hinduisme memberikan sastra keagamaan Mahabarata dan Ramayana, bahkan lakon untk mengembangkan tradisi wayang menjadi nilai seni adiluhung bagi masyarakat Jawa. Bahkan, sastra keagamaan Mahabarata dan Ramayana untk mengangkat konsep ksatria Jawa beserta raja menjadi kelas elit Jawa. Yakni, menjadi golongan kusuma rembesing madu yg mengembangkan watak-watak kepahlawanan (ksatria) untk membina kerajaan-kerajaan besar dan berwibawa.

Untuk menjaga keharmonisan hubungan vertikal, maka masyarakat Jawa periode pertama menggunakan medium yg disebut ‘syaman’. Begitu jg dgn wayang, ia dijadikan media untk mengenal dan mendekat kepada Tuhan. Wayang dlm konteks ni diposisikan sebagai ‘hyang’ sedangkan dhalang diposisikan sebagai ‘syaman’. Akhirnya, dikarenakan terlalu besarnya perhatian masyarakat Jawa terhadap kesenian wayang, maka wayang seringkali dianggap sebagai dasar filosofi manusia Jawa.

Menurut dua peneliti dari Belanda bernama Hazeu dan AC Kruyt, wayang sudah ada sejak zaman pemerintahan Airlangga. Menurut Hazeu, wayang mula-mula memang merupakan upacara syamanisme untk memenuhi kebutuhan manusia mengadakan hubungan dgn roh-roh nenek moyang. Sedangkan AC Kruyt berpendapat bahwa berbagai suku bangsa di Indonesia punya semacam upacara tertentu untk mengadakan hubungan antara manusia dgn dewa yg pd masyarakat Jawa dilakukan oleh seorang perantara yakni dhalang.

Dr. Hazeu jg mengemukakan bahwa cerita wayang sudah ada sejak zaman raja Airlangga di Kahuripan permulaan abad-11. karena saat itu raja Airlangga memiliki seorang ahli kesusasteraan yaitu Mpu Kanwa yg menulis kitab Arjuna Wiwaha. Ringkasan kisahnya, menceritakan Arjuna saat bertapa di pertapaan Witaraga untk mencapai tingkatan brhamana bernama begawan Ciptaning, Dikisahkan, suatu saat Arjuna melakukan pertapaan di sebuah gua di lereng gunung Indrakila. Untuk menguji kewaskitaan Arjuna, bathara Indra diperintah oleh bathara Guru untk turun ke bumi menjadi seorang resi, guna menggoda sang Arjuna / begawan Ciptaning. Karena sudah memasuki konsentrasi tingkat tinggi (heneng, hening, henung), Arjunapun tahu bahwa yg datang adlh jelmaan dari bathara Indra. Singkat cerita, Arjuna berhasil melewati godaan pertama tersebut. Kemudian.

Setelah itu, giliran bathara Guru yg mencoba menguji sang Arjuna. Sang batharapun berubah wujud menjadi seorang pemburu bernama Keretarupa. Sempat terjadi adu perang antara Keretarupa dgn sang Arjuna. Tapi karena kawaskitannya, akhirnya Arjuna tahu bahwa yg sedang dihadapinya adlh bathara Guru. Arjunapun segera menghaturkan sembahnya. Singkat cerita, setelah penyamaran yg dilakukan bathara guru diketahui oleh Arjuna, sang bathara segera menganugerahi Arjuna berupa senjata pasopati yg kelak menjadi senjata andalan dlm perang Bharatayuda Jayabinangun.

Kemudian sang bathara memerintahkan sang Arjuna untk naik ke kayangan guna mengalahkan prabu Niwatakawaca yg saat itu tengah mengamuk di kayangan. Akhirnya, sang Arjuna berhasil membunuh sang prabu Niwatakawaca. Sebagai bentuk trimakasihnya, para bathara memberikan dewi Supraba kepada Arjuna untk dijadikan sebagai istrinya.

Pada periode awal, kesenian wayang dipergunakan oleh sebagian besar masyarakat Jawa untk keperluan / kepentingan ritual dan upacara-upacara keagamaan tertentu. Misalnya seperti upacara ruwatan (ruwatan adlh upacara yg diadakan untk menolak bala / sial yg dikarenakan secara alami seseorang dilahirkan dgn kondisi membawa ke arah malapetaka / yg dipercaya akan membawa malapetaka, misalnya anak tunggal, anak kembar, anak lelaki yg diapit oleh dua anak perempuan, dsb). Upacara / ritual lain yg seringkali melibatkan kesenian wayang yaitu upacara untk keselamatan desa yg diadakan pd tiap bulan Suro (awal bulan tahun Jawa / bulan Muharam dlm tahun Islam). Dalam acara tersebut, seringkali lakon / cerita yg disajikan adlh yg berkaitan dgn cerita Bharatayuda. Hal ni bertujuan agar pd tahun berikutnya, masyarakat desa tetap diberi panen raya yg banyak dan melimpah ruah. Selain untk tujuan tersebut, jg agar bisa mendapatkan keselamatan dan ketentraman secara merata. Dari sini jelas terlihat bahwa wayang tak bisa lepas dari keseharian kehidupan manusia Jawa dimasa lalu (yang jg masih hidup di pedesaan masa kini) dlm ritus kehidupan sehari-hari.

Sosok dhalang khususnya memang seringkali dinilai sebagai penggerak alam gaib. Tidak terkecali pd zaman sekarang, penilaian terhadap dhalang jg tak terjadi perubahan secara signifikan. Mereka seringkali di’orangpintar’kan. Dalam peranan itulah kemudian mereka (bersama rombongan niyaganya) seringkali diundang untk nanggap wayang pd acara-acara tertentu. Dhalang jg kerap kali diundang pd saat terjadi bencana alam dan sebagainya. Begitulah peran dhalang yg setidaknya tetap dipertahankan sampai sekarang.

W. Robertson Smith menyatakan bahwa upacara religi yg biasa dilakukan masyarakat pd waktu itu berfungsi sebagai motivasi, yg dimaksudkan tak hanya untk berbakti kepada dewa ataupun untk mencari kepuasan batiniah yg bersifat individual saja, tetapi jg karena mereka menganggap melaksanakan upacara agama adlh bagian dari kewajiban sosial. Keberadaan ruh dan kekuatan-kekuatan gaib dipandang sebagai Tuhan yg dpt menolong atapun sebaliknya dpt mencelakakan.

Tapi sekarang, wayang dan dhalang telah sedikit beralih fungsi. Kini wayang hanya berfungsi sebagai media hiburan dan kritik sosial. Walau kebebasan dan keleluasaan gerak kesenian wayang masih sangat dominan, masyarakat Jawa modern hanya menganggap wayang sebagai karya seni yg bernilai estetika tinggi semata. Sedikit sekali dari mereka yg masih menganggap wayang sebagai media untk mengenal tuhan. Perbuhan-perubahan inilah yg sekiranya perlu mendapat perhatian serius, karena dinilai sangat menarik. Sedangkan dhalang kini jg dianggap hanya sebagai tukang pemain wayang. Sedikit sekali masyarakat yg masih menganggap mereka sebagai ‘orang pintar’ yg mandhi doanya. Tentu saja perubahan-perubahan di atas tak bisa terlepas dari kedatangan agama Islam pd sekitar abad pertama Hijriyah / abad ke 7 Masehi. Cerita mengenai keadaan masyarakat Jawapun jg ikut berubah. Dalam memahami adanya roh buruk / jahat misalnya, masyarakat Jawa kemudian menyebutnya dgn syaitan. Mereka kemudian jg mempercayai bahwa yg disebut Tuhan sejatinya adlh Allah (gusti Allah). Untuk menyembahnya yaitu dgn mengerjakan shalat lima waktu.

Walau telah terjadi perubahan-perubahan pasca kedatangan Islam ke pulau Jawa, tapi tak serta merta menghapuskan kepercayaan lama pd masyarakat Jawa. Ternyata terjadi interelasi antara ajaran-ajaran Hindu Budha dgn ajaran-ajaran Islam. Interelasi ni misalnya, dideskripsikan dgn sangat jelas ketika kita menonton pagelaran wayang. Tapi begitu, adanya kasus interelasi ni tak pernah sedikitpun membuat resah dan gerah umat Islam Jawa. Bahkan kemudian umat Iislam Jawa menjadi umat islam yg unik, menarik, terbuka, dan betul-betul memperlihatkan identitas dan pola keberagamaan mereka yg berbeda dgn pola keberagamaan umat Islam lainnya.

Membincang konsep Islam vis a vis tradisi dlm disiplin antropologi terbagi menjadi dua bagian yg sering disebut dgn tradisi besar (grand tradition) dgn tradisi kecil (little tradition). Konsep ni dikenalkan oleh Jacques Duchesne Guillemin yg menyatakan bahwa akan selalu terjadi dialog antara tatanan nilai agama yg menjadi cita-cita religius dari agama dgn tata nilai budaya lokal. Pertautan dialektis yg kreatif antara nilai universal dari agama dgn budaya lokal telah menghadirkan corak ajaran Islam dlm kesatuan spiritual dgn corak budaya yg ragam (unity and diversity).

Wayang tak akan pernah dpt dipisahkan dari masyarakat Jawa. Sebab cerita-cerita dlm pakeliran wayang selalu mengiaskan perilaku watak manusia Jawa dlm perjalanannya mencapai tujuan hidup baik lahir maupun batin. Pemahaman terhadap kias tersebut tak semata-mata dilakukan dgn pikiran melainkan dgn seluruh cipta, rasa, karsa bergantung kepada kedewasaan orang masing-masing. Masyarakat Jawa jg gemar beridentifikasi diri dgn tokoh-tokoh wayang tertentu dan bercermin serta bercontoh padanya dlm melakukan perbuatan dlm kehidupan sehari-hari. Selain itu, usaha pengidentifikasian ni bisa jg ditunjukkan dgn cara pemberian nama sesuai dgn nama yg ada dlm pewayangan. Selain pemberian nama terkadang jg penyerupaan diri manusia dgn tokoh-tokoh wayang jg diberikan kepada orang lain yg memiliki kelebihan-kelebihan tertentu. misalnya, mereka mencontoh perilaku dan sikap hidup Arjuna sang panengah Pandawa, / meniru keperkasaan Werkudara sang panegak Pandawa, ataupun keadilan dari Sri Prabu Bathara Kresna. Karena begitu besarnya peran wayang dlm kehidupan orang Jawa, maka tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa wayang merupakan identitas manusia Jawa.

Wayang dan Islam Jawa akhirnya menjadi satu kesatuan yg tak bisa dipisahkan. Wayang adlh satu kesenian, media dakwah jitu yg dengannya Islam sanggup menggapai sudut-sudut terkecil dlm masyarakat Jawa. Dengannya Islam dpt melakukan pendekatan-pendekatan santun. Wayang dlm konteks ni dpt dikatakan sebagai ‘pemikat’ yg mampu memikat ribuan bahkan jutaan masyarakat Jawa. Terlebih setelah ia ‘berhias diri’ dgn ajaran Islam, wayang terlihat tambah mempeseona, menarik, dan memikat hati tiap orang yg sempat menyaksikannya dlm pagelaran.

Daya tarik wayang ni tak bisa terlepas dari peran dhalang sebagai orang yg memainkan wayang. Pada zaman Walisongo, Sunan Kalijaga dikenal sebagai wali dan ulama yg pandai mendhalangi dan karenanya ia disebut sebagai Ki Dhalang Sida Brangti. Ia adlh dhalang wayang purwa yg sukses. Bila pentas di satu tempat, ia mampu menyedot ratusan penonton. Di mata Sunan Kalijaga, wayang adlh kesenian yg berfungsi ganda. Selain sebagai tontonan jg sebagai media pemberi tuntunan. Setiap mendhalang beliau tak pernah menarik bayaran (materi). Sebagai bayarannya ia mengajak kepada seluruh hadirin untk bersyahadat mengucapkan sumpah pengakuan bahwa tiada Tuhan selain Allah dan mengakui Nabi Muhammad saw adlh utusan Allah. Selain sebagai pemrakarsa terhadap usaha perubahan bentuk wayang, Sunan Kalijaga jg dikenal sebagai wali yg turut andil besar dlm melengkapi alat-alat pagelaran. Beliaulah yg menambahkan batang pisang, kelir ‘layar’, dan blencong ‘lampu’.

Ahli sejarah mencatat, wayang yg digemari masyarakat sebelum kehadiran Sunan Kalijaga adlh wayang Beber. Sunan Kalijaga jg mengubah wayang kulit dari bentuk beber menjadi terpisah. Tiap tokoh dipisah satu persatu dan diberi tangan yg bisa digerakkan. Wayang Beber sebelumnya sebatas kertas yg bergambar kisah pewayangan. Sunan Kalijaga diyakini sebagai penggubah wayang kulit. Tiap tokoh wayang dibuat gambarnya dari sungging di atas kulit kambing. Bentuknya berkembang dan disempurnakan pd era kerajaan Demak, 1480-an

Dalam mengadakan pagelaran wayang, Sunan Kalijaga dan Walisongo lainnya seringkali mengadakannya di halaman masjid yg disekelilingnya dibuatkan parit melingkar dan berair jernih. Dijelaskan bahwa fungsi dari parit ni tak lain adlh untk melatih para penonton wayang untk wisuh / mencuci kaki sebelum masuk masjid. Ini merupakan simbolisasi dari wudhu yg disampaikan secara santun dan cerdas.

Dalam perkembangan selanjutnya, sang wali jg menyebarkan lagu-lagu yg bernuansa simbolisasi yg kuat. Yang terkenal karangan dari Sunan Kalijaga adlh lagu Ilir-Ilir. Memang tak semua syair menyimbolkan suatu ajaran islam, mengingat diperlukannya suatu keindahan dlm mengarang suatu lagu. Sebagian arti yg kini banyak digali dari lagu ni di antaranya :

Tak ijo royo-royo tak senggoh penganten anyar : Ini adlh sebuah diskripsii mengenai para pemuda, yg dilanjutkan dengan, Cah angon,cah angon, penekna blimbing kuwi, lunyu-lunyu penekna kanggo seba mengko sore : Cah angon adlh simbolisasi dari manusia sebagai Khalifah Fil Ardh, / pemelihara alam bumi ni (angon bhumi). Penekno blimbing kuwi ,mengibaratkan buah belimbing yg memiliki lima segi membentuk bintang. Kelima segi itu adlh pengerjaan rukun islam (yang lima) dan Salat lima waktu. Sedang lunyu-lunyu penekno , berarti, tak mudah untk dpt mengerjakan keduanya (Rukun islam dan salat lima waktu) ,dan memang jalan menuju ke surga tak mudah dan mulus. Kanggo sebo mengko sore, untk bekal di hari esok (kehidupan setelah mati). Mumpung padhang rembulane, mumpung jembar kalangane : Selagi masih banyak waktu selagi muda, dan ketika tenaga masih kuat, maka lakukanlah (untuk beribadah). Memang masih banyak translasi dari lagu ini, tapi substansinya sama, yaitu membumikan agama, menyosialisasikan ibadah dgn tak lupa tetap menyenangkan kepada pengikutnya yg baru.

Dalam lagu-lagu Jawa, ada gendhing bernama Mijil, Sinom, Maskumambang, Kinanthi, Asmaradhana, hingga Megatruh dan Pucung. Ternyata kesemuanya merupakan perjalanan hidup seorang manusia. Ambillah Mijil, yg berarti keluar, dpt diartikan sebagai lahirnya seorang jabang bayi dari rahim ibu. Sinom dpt di artikan sebagai seorang anak muda yg bersemangat untk belajar. Maskumambang berarti seorang pria dewasa yg cukup umur untk menikah, sedangkan untk putrinya dgn gendhingKinanthi. Proses berikutnya adlh pernikahan / katresnan antar keduanya disimbolkan dgn Asmaradhana. Hingga akhirnya Megatruh, / dpt dipisah Megat-Ruh. Megat berarti bercerai / terpisah sedangkan ruh adlh Roh / jiwa seseorang. Ini proses sakaratul maut seorang manusia. Sebagai umat beragama islam tentu dlm prosesi penguburannya ,badan jenazah harus dikafani dgn kain putih, mungkin inilah yg disimbolkan dgn pucung (atau Pocong). Kesemua jenis gendhing ditata apik dgn syai-syair yg beragam, sehingga mudah dan selalu pas untk didendangkan pd masanya.

Ada banyaknya filsafat Jawa yg berusaha diterjemahkan oleh para wali, menunjukkan bahwa Walisanga dlm mengajarkan agama selalu dilandasi oleh budaya yg kental. Hal ni sangat dimungkinkan, karena masyarakat Jawa yg menganut budaya tinggi, akan sukar untk meninggalkan budaya lamanya ke ajaran baru walaupun ajaran tesebut sebenarnya mengajarkan sesuatu yg lebih baik, seperti ajaran agama islam.

Selain nama Sunan Kalijaga, tercatat jg nama-nama wali lain yg ikut andil besar dlm ‘mempercantik’ kesenian wayang, seperti Sunan Bonang dan Sunan Giri. Sunan Bonang dikenal sebagai dhalang yg mahir membius penontonnya, kegemarannya adlh menggubah lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas Islam. Kisah perseteruan Kurawa-Pandawa ditafsirkan oleh Sunan Bonang sebagai peperangan antara nafi (peniadaan) dan isbat (peneguhan), ia jg telah mengubah wayang ricikan, gajah, kuda, serta prajurit prampogan. Selain menggunakan media wayang sebagai media dakwah, Sunan Bonang jg kerap kali menggunakan kesenian rakyat untk menarik simpati masyarakat, antara lain dgn seperangkat gamelan Bonang. Bila dipukul dgn kayu lunak, bonang itu melantunkan bunyi yg merdu. Bila Sunan Bonang sendiri yg menabuhnya, gaung sang Bonang sangat menyentuh hati para pendengarnya.

Sedangkan peran Sunan Giri dlm memodifikasi kesenian wayang kulit diantaranya adlh beliau telah memasukkan konsep Tuhan menurut agama Islam ke dlm wayang, sehingga penyebutan untk Yang Maha Kuasa menjadi Sang Hyang Girinata (Tuhannya sunan Giri), ia jg telah menambah tokoh kera dlm pewayangan.

Sunan Giri memang dikenal sebagai ulama ahli tauhid terkemuka di zamannya. Bahkan pesantren Giri yg diasuhnya merupakan pusat ajaran tauhid dan fiqih. Beliau senantiasa meletakkan ajaran Islam di atas al-Quran dan sunah Rasul.

source : http://twitter.com, http://google.com

0 Response to "[Lowongan Dosen dan Pegawai] Wayang di mata Masyarakat Jawa "

Post a Comment

Contact

Name

Email *

Message *