2ndgirls.blogspot.com - Masa orientasi mahasiswa baru (osmaru) segera tiba. Para mahasiswa baru akan segera menjumpai masa rawan yg mengawali kehidupan mereka di kampus. Saya sebut masa rawan bukan lantaran perpeloncoan dlm agenda Osmaru. Bukan. Toh sejauh ini, khususnya di Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, jarang ada keluhan terkait perploncoan yg kelewat batas. Kegiatan-kegiatan osmaru di UNS bisa dikatakan tak terlalu kejam dibandingkan di sebagian universitas lain.
Proses selama masa orientasi tersebut tak terlalu bermasalah, kendati beberapa aspeknya memang, menurut saya, kontraproduktif. Sesungguhnya yg rawan adlh tujuan terselubung dari osmaru itu sendiri. Ada kepentingan tertentu yg hari ni pun masih kurang diperhatikan. Apakah itu? Tujuan utama osmaru adlh memperkenalkan mahasiswa baru kepada kampus mereka, kultur, sistem pendidikan, dosen-dosen, dan mahasiswa lain. Itu yg baku. Dalam masa osmaru pula mahasiswa baru diperkenalkan kepada lagu Mars Mahasiswa, dan slogan-slogan utopis semacam Hidup mahasiswa, hidup rakyat Indonesia!
Dengan kata lain, sesungguhnya sejak awal mahasiswa baru sudah dijerumuskan dlm dogma agent of change. Tak perlu ahli matematika untk mengetahui panitia osmaru kebanyakan dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) yg notabene tonggak aktivisme mahasiswa intrakampus. Panitia lain lazim diambil dari pegiat Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), yg sekali pun di luar anggota BEM tak serta-merta bukan aktivis. Banyak pula dari mereka yg bergabung dgn organisasi eksternal kampus, sehingga keterlibatannya di osmaru menambah kental nuansa aktivisme mahasiswa.
Sebab itulah saya mengkhawatirkan para mahasiswa baru, bagaimana pun mereka masih polos. Jika semasa osmaru mahasiswa baru dididik menjadi aktivis, mereka akan terbuai dgn idealisasi yg dibikin aktivis mahasiswa selama ini. Idealisasi yg jauh di sana, yg tak pernah terwujud hingga kini. Hasil yg sukses mereka berikan hanya sekadar kemacetan lalu lintas lantaran jalanan mereka penuhi untk demonstrasi, itu pun masih dihiasi cemoohan warga, dan yg paling mengganggu adlh seringnya spanduk mereka gantung di selangkangan patung Slamet Riyadi. Saru tenan!
Pretensi Mewakili Setiap pergerakan, bila diamati betul-betul, sesungguhnya mengandung paradoks yg tak boleh diabaikan. Ini pula yg jadi titik berangkat kritik Jacques Ranciere pd komunisme, feminisme, dan berbagai gerakan lain yg berjuang demi kesetaraan. Komunisme misalnya, diawali dgn pembagian dua kelas: borjuis dan proletar. Masyarakat tanpa kelas yg jadi idealisasi mereka diupayakan lewat revolusi proletariat. Tapi siapa itu proletar?
Karl Marx sebetulnya masih menstrukturkan kaum tertindas dlm dua jenis, yakni proletariat dan lumpenproletariat. Ranciere mendefinisikannya dlm The Philosopher and His Poor. Proletariat adlh kelas buruh pabrik yg merupakan basis dari seluruh tata ekonomi kapitalis. Lumpenproletariat terdiri dari gelandangan, maling, copet, angkatan cadangan tenaga kerja yg merupakan sampah masyarakat, massa pasif yg membusuk, / strata terendah di masyaraka (2004: 95).
Dalam revolusi proletariat, lumperproletariat tak mendapat bagian. Alasan yg pertama, lumpenproletariat berada di luar mode produksi kapitalis, sekali pun mereka tetap tertindas. Itu pula yg mendasari alasan kedua, yakni dgn posisi mereka yg tak secara langsung di lahan konflik buruh-majikan, lumpenproletariat dianggap tak punya potensi revolusioner.
Syahdan, kaum proletarlah satu-satunya tonggak revolusi, yg bukan hanya mewakili buruh, melainkan kaum tertindas secara keseluruhan. Hasilnya dpt diduga, alih-alih mewujudkan masyarakat tanpa kelas, yg terjadi justru kediktatoran proletariat. Revolusi membunuh ketaksetaraan yg satu demi melahirkan ketaksetaraan yg lain. Begitu pula dgn aktivisme mahasiswa. Meminjam term Robertus Robet: dimulai dari asumsi ketaksetaraan, lalu bergerak membuktikan ketaksetaraan dan pd akhirnya balik mengafirmasi ketaksetaraan dan mengulang terus menerus afirmasi terhadap ketaksetaraan itu (2011: 41).
Ketaksetaraan akan terus langgeng selama aktivisme masih berpretensi mewakili, dan bukannya mencipta ruang publik untk perjuangan bersama. Aktivisme mahasiswa, terkhusus intrakampus, terjebak dlm pretensi tersebut sembari menghias diri dgn eksklusivisme. Aktivis BEM hari ini, merasa mewakili keseluruhan mahasiswa bahkan mewakili segenap rakyat Indonesia. Mereka buat pula dikotomi antara yg aktivis dan yg apatis: mengeksklusifkan diri sebagai yg aktivis, dan membuang yg apatis (serta mahasiswa pd umumnya) bak lumpenproletariat dlm revolusi.
Dengan demikian, mahasiswa baru mesti mengokohkan pendirian mulai sekarang, biar tak tergiur ajakan bergabung dgn para pengafirmasi ketaksetaraan tersebut. Kalau pun minat bergabung dgn mereka, itu pilihan, tapi sebaiknya berkomitmen mengubur kultur kontraproduktif aktivis mahasiswa dewasa ini. Kamar-kamar tertutup berdinding bata yg dibanggakan aktivis mahasiswa hari ni mesti segera dibongkar, dirobohkan, lantas dirikan saja pendopo buat ruang diskusi dan aktivitas yg terbuka bagi siapa pun. Selamat datang mahasiswa baru!
Solopos, 4 Agustus 2015
Home » Filsafat »
Opini »
Politik »
Sosiologi
» Aktivisme Mahasiswa Penjaga Ketaksetaraan - Sosiologi
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 Response to "Aktivisme Mahasiswa Penjaga Ketaksetaraan - Sosiologi"
Post a Comment